Suatu hari rombongan biku berjalan melewati padang dan tiba di sebuah pantai yang tersembunyi. Seorang biku kemudian melepaskan jubahnya dan berenang. Arus air laut sangat kencang dan mendorongnya sampai ke tengah laut. Seberapa keras usahanya untuk melawan arus, ombak tetap lebih kencang sehingga membawanya ke tengah laut sampai beberapa ratus meter dari daratan. Biku tersebut kemudian berhenti berusaha dan bersikap santai, melepas dan membiarkan arus membawanya. Setelah beberapa waktu berlalu, arus mulai melemah. Di saat itulah, biku tersebut berenang kembali ke daratan. Setelah sampai di daratan, biku tersebut bercerita bahwa dia menghabiskan banyak tenaga saat berusaha melawan arus. Dia yakin kalau dia terus melawan dan tidak berhenti, maka arus itu akan mengalahkannya. Bila itu yang terjadi, dia tidak akan bisa berenang kembali saat arus telah mereda.

Itu adalah kisah menarik dari salah satu bab buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya karya Ajahn Brahm. Selain kisah mengenai 2 Batu Bata di awal buku, ini adalah salah satu kisah yang menurut saya paling berkesan dari buku tersebut.
Cerita ini pun juga bisa dimaknai lebih dalam kalau kita membaca Bab 47, 49, 50, 51 dan 52. Semua cerita dalam bab-bab tersebut punya makna yang kurang lebih sama. Dalam cerita di atas terkandung pesan moral, bahwa dalam hidup ini, kita tidak harus senantiasa bereaksi, merespon, melawan ataupun mengambil keputusan pada saat mengalami keadaan yang tidak menyenangkan menimpa kita. Mayoritas orang biasanya mempunyai mindset pada saat menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan, maka keadaan tersebut harus bisa berubah saat itu juga. Ya… Itulah mindset saya juga yang selama ini saya lakukan. Umumnya, saat kita menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan, kita akan berusaha sekuat tenaga melakukan sesuatu, memberikan reaksi, memberikan respon atau mengambil keputusan tertentu secara langsung dengan tujuan untuk bisa langsung merubahnya sesegera mungkin. Masalahnya, terkadang masalah itu tidak akan bisa langsung berubah sesuai keinginan kita. Kalau kondisi tersebut tidak berhasil kita rubah, inilah yang seringkali akan membuat kita merasa frustrasi dan mengalami penderitaan.
Ini dulu berkali-kali saya alami saat dulu belum mengenal ajaran Buddha. Saya bisa stress berhari-hari saat masalah muncul, padahal masalah tersebut saya tahu tidak akan selesai atau hilang dalam waktu dekat, apalagi untuk hal-hal yang di luar kendali kita, misalnya kondisi ekonomi keluarga yang sedang tidak baik-baik saja atau perilaku orang dekat kita yang mengarah ke hal-hal buruk dan merugikan, atau misalnya saat ada penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga kita. Keadaan-keadaan seperti ini seringkali tidak akan bisa kita rubah dalam waktu singkat atau cepat. Permasalahannya kita seringkali menolak keadaan tersebut dan membuat kita berpikir keras bagaimana untuk lepas dari keadaan itu saat itu juga. Hal inilah yang biasanya menghasilkan tekanan pada batin kita. Maka, salah satu pelajaran dharma yang sangat bagus dari tulisan Ajahn Brahm ini bisa kita jadikan sebagai perenungan dan pacuan bagi kita agar bisa berlatih diri untuk mengasah batin kita, yaitu bahwa ada kalanya bila suatu kondisi itu tidak bisa berubah saat itu juga, terkadang kita harus bisa menerima keadaan tersebut, beradaptasi dan berdamai dengannya. Kita masih bisa berencana, mengupayakan sesuatu tapi kita juga harus melihat realita dan peluang yang ada agar kita tidak banyak menghabiskan energi dan pikiran kita hanya untuk hal yang sia-sia.
Poinnya adalah pepatah:
Ketika tak ada yang perlu dilakukan, ya jangan ngapa-ngapain

Komentar